PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA

memperkokoh keislaman dan keindonesiaan menuju peradaban mulia

Senin, 01 Maret 2021

Pergerakan Syarikat Islam Indonesia: Bumiputra ternyata Haramkan Miras

Jakarta, pemudamuslimin-news.com — Gerak sejarah minuman keras beralkohol (miras) di Ibu Pertiwi penuh dinamika. Sejak zaman Belanda, miras telah hadir, baik yang legal ataupun ilegal. Orang China dan Kolonial Belanda jadi aktor yang melanggengkan kebiasaan minum miras. Kaum bumiputra sebaliknya. Meluasnya ajaran Islam melebarkan anggapan miras sebagai perkara mudarat, ketimbang manfaat.

Lebih dari itu, miras sering dihubungkan dengan “dunia hitam.” Miras acap kali jadi pelengkap dosa lain, seperti perjudian dan pelacuran. Buahnya, penolakan akan miras sempat menggema di seantero Jawa. Kebiasaan minum miras di kalangan bumiputra telah ada jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Kala itu, kebiasaan minum miras hanya dilakukan untuk acara besar, bukan kebiasaan terbuka.

Kebiasaan minum miras itu kemudian menjadi bagian dari kebiasaan hidup kaum priayi dan pangreh praja (pejabat pemerintah Belanda). Miras bagi mereka jadi medium mengungkap rasa bahagia dan dipercaya sebagai obat. Lebih lengkap terkait miras sebagai obat, kami pernah mengulasnya dalam tulisan  “Minum Arak Batavia atau Mati: Ketika Minuman Beralkohol Menangkal Penyakit di Zaman Belanda”.

Satu sisi agama melarang. Sisi lainnya, miras adalah perkara yang sah jika berkaitan dengan banyak perayaan besar. Miras jadi jamuan ketika merayakan pesta ulang tahun bupati, pesta menyambut panen raya, dan pesta pembukaan pabrik gula. Namun kebiasaan itu tetap dianggap banyak memunculkan. Dari merugikan diri sendiri hingga merugikan orang banyak.

“Mudarat atau kerusakan yang ditimbulkan (miras) jauh lebih besar. Orang mabuk bisa menyebabkan lupa istri dan anak. Menimbulkan kerugian orang lain di sekitarnya. Bahkan kesehatan dirinya!" ditulis Achmad Chodjim dalam buku Sunan Kalijaga (2013).

"Pada masa Sunan (Kalijaga) minuman keras mungkin hanya berasal dari minuman keras tradisional seperti tuak Jawa Kuno (twak). Minuman ini diperoleh dari fermentasi air bunga pohon tal, atau aren. Nah, sebelum kedatangan bangsa Eropa, ya hanya tuak itu yang menjadi sarana untuk mabuk-mabukan. Setelah mereka datang, masuklah bir sebagai pengganti tuak.”

Namun, masih dalam batas moral, orang Jawa menyakini adanya lima larangan moral yang disebut "Ma-Lima" atau madat (menghisap candu), madon (berzina), minum (miras), main (berjudi), dan maling). Menjauhi larangan itu diyakini akan membuat hidup seseorang Jawa jauh dari kehancuran. Pun hal yang sama berlaku kepada Raja Jawa. Dalam sastra Jawa kuno disebutkan, raja mabuk dan sikapnya yang kurang layak terhadap rakyat dianggap sebagai tanda-tanda pralaya, masa kehancuran.

“Bahwa mabuk juga dianggap sebagai tanda pralaya dalam masa Mataram II ditegaskan oleh Serat Rama. Seorang raja yang menuruti kekasaran dan kemarahan hatinya yang tak terkendalikan, karena ingin ditakuti dan dipatuhi, juga dikutuk," ditulis Soemarsaid Moertono dalam buku Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX (2017). 

Baca Juga: Miras meresahkan kaum bumiputra

"Raja yang demikian disamakan dengan kambing yang menyerang setiap potongan kayu yang dipasangkan di depannya. Tentulah tingkah laku yang demikian menyatakan emosi tak terkendali yang bagi orang Jawa merupakan kelakuan yang sangat tidak pantas."


Share:

SILATNAS 2021

SILATNAS 2021
Sukseskan Silatnas Pemuda Muslimin 2021

Official Account Media Sosial

Kabar Viral

Bersama Lawan Corona

PILIHAN REDAKSI

Muhtadin Sabili Ditetapkan Jadi Ketua Umum PB Pemuda Muslimin Lewat Aklamasi

Bogor, PemudaMuslimin-News.Com — Forum tertinggi organisasi Majelis Syuro (Kongres Nasional) Pemuda Muslimin Indonesia  menyepakati dan m...