Jakarta, PemudaMusliminNews — Hindia
Belanda 1915. Ada sebuah isu, Sarekat Islam (sekarang; Syarikat Islam Indonesia)
lewat Tjokroaminito, menerima uang 150.000 gulden dari Jerman. Dana sebesar
itu,konon sengaja digelontorkan salah satu negara adi kuasa era tersebut,
sebagai upaya membiayai sebuah pemberontakan besar di tanah Jawa.
Demi menerima isu panas itu, pemerintah Hindia
Belanda tidak tinggal diam. Mereka lantas menugaskan salah satu “agen” mudanya
PID (Politiek Inlichtingen Dien) untuk menyelidiki kebenaran isu tersebut.
Namun alih-alih mendapat informasi yang berharga, sang agen muda tersebut malah
mengirim berita “mengejutkan” dari Surabaya. Isinya ia menyatakan keluar
dari PID.
”Rupanya pesona kharisma Tjokro, telah menyihir
sang anak muda untuk membelot ke Sarekat Islam (sekarang; Syarikat Islam
Indonesia),”ujar Ketua Departemen Dalam Negeri Pemuda Muslimin Indonesia Asep
Romdhon, SH, MH dalam sebuah diskusi sejarah di Sekretariat DPP Syarikat Islam
Indonesia, Jl. Prof. Dr. Latumeten 16 beberapa waktu yang lalu.
Siapakah anak muda itu? Ia tak lain adalah Agus
Salim. Lahir di Koto Gadang, Bukittinggi pada 8 Oktober 1884, sejak kecil Agus
Salim menikmati pendidikan eksklusif gaya Eropa. Itu terjadi, selain karena
Agus Salim putera seorang jaksa ia pun memiliki otak yang encer. Begitu
cerdasnya Agus Salim hingga saat duduk di Europese Lagere School (ELS, sekolah
eropa setingkat lanjutan pertama) di Riau, sang kepala sekolah tertarik untuk
langsung mendidiknya dengan etika dan bahasa Belanda.
Usai lulus dari HBS (sekolah Belanda
setingkat lanjutan atas), Agus bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah, Saudi
Arabia. Bekerja di lingkungan asal datangnya Islam itu, membuat Agus belajar
banyak soal Islam dan bahasa Arab. Bisa jadi karena keahliannya di dua bidang
tersebut, membuat PID tertarik untuk merekrutnya. Maka pada sekitar 1913, ia
kembali ke Batavia dan resmi bekerja sebagai agen PID.
Seperti sudah disebutkan di atas, PID (Politiek
Inlichtingen Dien) lantas menugaskan Agus untuk menyelidiki Tjokroaminoto di
Surabaya. Penyelidikan itu ternyata berakhir dengan masuknya Agus ke Sarekat
Islam. Sejarah mencatat, Agus tidak hanya menjadi anggota Sarekat Islam saja.
Sampai meninggalnya Tjokro pada 1934, ia bahkan selalu disebut-sebut sebagai
orang kedua di Sarekat Islam (sekarang; Syarikat Islam Indonesia). “Tjokro dan
Agus adalah dwitunggal Sarekat Islam (sekarang; Syarikat Islam Indonesia),”tulis
Mohamad Roem dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Hingga 1921, Agus Salim masih memperlihatkan
sikap kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Itu dibuktikan dengan
kesediannya menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat (1921-1924) mewakili
Sarekat Islam (sekarang; Syarikat Islam Indonesia). Justru di Dewan Rakyat itu
sikap radikal Agus mulai terpupuk. Tak jarang ia bicara terbuka, keras, dan
menantang. Salah satu bentuk keradikalannya itu adalah saat ia ngotot
menggunakan bahasa Melayu dalam rapat-rapat di Dewan Rakyat. Sebuah sikap yang
berani dari seorang bumiputera saat itu.
“Ia pernah mengeritik Dewan Rakyat sebagai
“komidi ngomong”,”ujar Mohamad Roem.
Seiring bergesernya gaya perjuangan Sarekat
Islam ke arah non kooperatif, Agus dan kawan-kawan SI-nya lantas menyatakan
mundur dari Dewan Rakyat. Ia kemudian aktif di JIB (Jong Islamieten Bond yang
kemudian menjadi pendiri Pemuda Muslimin Indonesia tahun 1928) dan sehari-hari
bekerja sebagai seorang jurnalis. Tulisannya yang sangat pedas, keras
bertaburan di beberapa koran dan majalah Hindia Belanda seperti Hindia Baru,
Fadjar Asia dan Het Linch.
Sebagai seorang jurnalis tak jarang Agus
meliput berbagai peristiwa ke berbagai tempat di pedalaman Jawa, Sumatera, Sulawesi
dan Kalimantan. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan
ketidakadilan berbagai aturan Pemerintah Hindia Belanda. Ia juga menjadi
saksi berbagai sisitem yang memeras rakyat untuk kepentingan penjajah,
mulai praktik kuli kontrak dengan pembayaran minim (poenale sanctie) hingga
penyewakan tanah rakyat kepada pengusaha Eropa dalam jangka panjang (erfpacht).
Berbagai pengalaman itu berpengaruh terhadap
cara pandangnya di kemudian hari. Termasuk saat ia bersama-sama tokoh pendiri
bangsa lainnya menyusun UUD 1945. Konon Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 yang di antaranya berbunyi, Sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan, mengandung
ide-ide pokok pemikiran Agus Salim
Agus Salim memang memiliki sumbangan yang sangat
besar dalam melahirkan sebuah bangsa baru bernama Indonesia. Bukan hanya
sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) semata, ia
bahkan termasuk dalam tim kecil perumus Pembukaan UUD RI. Mungkin karena
keahliannya dalam tata bahasa Melayu, ia bersama Djajadiningrat dan Soepomo,
menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945.
“Jauh sebelum dunia Barat bicara tentang hak
asasi manusia, Haji Agus Salim sudah menyinggung dalam perjuangannya menuntut
kemerdekaan sebagai hak manusia, bahkan hak segala bangsa!” demikian Emil Salim
dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim.
Kiprah perjuangan “the grand old man” –julukan
Soekarno terhadap Agus Salim–tidak hanya sebatas melahirkan dan pendirian
Indonesia semata. Pada beberapa kabinet, ia selalu menduduki peran sebagai
Menteri Luar Negeri. Posisinya itu menjadikan ia sering bertemu dan terlibat
perdebatan alot dengan para diplomat Kerajaan Belanda. Salah satu diplomat itu
adalah Prof.Schermerhon.
Sebagai seorang ”musuh” Schermerhon, memiliki
kesan yang mendalam terhadap Agus Salim. Dalam Het dagboek van Schermerhoon
(Buku Harian dari Schermerhoon), ia menyebut Agus Salim sebagai: ”…Orang
tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu bicara dan
menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya
satu: ia hidup melarat… ”tulisnya.
Berdamai dengan kemelaratan seolah telah menjadi
pilihan hidupnya. Itu dibuktikannya pada 4 November 1954, saat bapak pendiri
bangsa tertua itu menutup mata selamanya. Tak ada warisan harta dan kemilau
materi yang diwariskan kepada anak-anaknya. Ya, hidup sederhana seolah telah
”dihitung” sang diplomat tua itu, jauh hari sejak ia memutuskan keluar dari
pekerjaannya yang bergaji besar di PID.Red/Departemen Kominfo PB Pemuda Muslimin Indonesia