Jakarta, PemudaMusliminNews —
Presidential Threshold pencalonan presiden atau ambang batas sebesar
20 persen kursi parlemen menjadi satu catatan kurang baik dalam penilaian nalar
demokrasi dan konstitusi yang telah terbangun. Pengesahan ambang batas
pencapresan itu dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu)
menjadi kemunduran demokrasi.
Sekjen PB Pemuda
Muslimin Indonesia Evick Budianto mengatakan ambang batas pencapresan 20 persen
merupakan langkah mundur atau setback bagi
upaya penciptaan kemandirian pemerintah. "Ini juga setback bagi
pemaksimalan fungsi checks
and balaces dan, di atas itu semua, katanya demokrasi yang
sesungguhnya," kata dia kepada pemuda
muslim news, Rabu (30/05).
Evick berpendapat, pengesahan ambang batas sebesar 20
persen kursi di parlemen telah menjadi permainan partai politik. Ia menyatakan
penetapan Presidential
Threshol ini sebuah aksi
drama yang di luar nalar.
"Bagaimana logikanya A dan B serentak
dilaksanakan, namun A hanya bisa dilakukan setelah B dilaksanakan. Terlambat
dalam hitungan menit saja jelas sudah tidak bisa dibilang serentak," ujar
dia, menganalogikan.
UU Pemilu yang disahkan DPR pada Sidang Paripurna
pada Juli setahun yang lalu mengamanatkan pencapresan diajukan oleh partai-partai
politik dan/atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi di
parlemen atau 25 persen suara sah nasional. Karena pemilihan presiden (pilpres)
dan pemilihan legislatif (pileg) pada Pemilu 2019 berlangsung serentak, ambang
batas yang digunakan berdasarkan hasil Pemilu 2014.
Walaupun demikian, hal tersebut tetap saja
menghilangkan keserentakan yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam
putusannya pada 2014. Evick menyatakan, pemilu serentak berarti pilpres tidak
seharusnya tergantung pada hasil pileg.
Dia menambahkan jika ditarik ke belakang,
ketika MK memerintahkan pilpres dan pileg berlangsung serentak, maka ada amanat
agar presiden terbebas dari belenggu opportunisme partai-partai yang hanya
mengekalkan oligarki politik.
Di sisi lain, dia berpendapat, ambang batas
pencapresan 20 persen ini telah membungkam ekspresi dan aspirasi rakyat untuk
mencalonkan calon presiden alternatif. "Hal yang pasti, potensi munculnya
tokoh alternatif sudah terlucuti, hak-hak rakyat untuk mengkespresikan
aspirasinya tercuri oleh partai politik," tegas Evick.
Red/Departemen Kominfo PB
Pemuda Muslimin Indonesia