JAKARTA,
PemudaMuslimNews - Tingkahlaku para politisi yang “semena-mena” terhadap
kebijakan publik mengakibatkan kekecewan yang amat mendalam terhadap rakyat.
Selain itu, kebejatan moralitas politisi juga berimplikasinya terhadap
sirkulasi politik kian tercemar.dalam konteks ini, partai politik (parpol) di
tanah air kembali dipertanyakan.
Berdasarkan
Survei Cirus Surveyors Group (CSG) menunjukkan, hanya 9,4% masyarakat yang
bercara terhadap parpol. Disisi lain, sebagian besar masyarakat menganggap
bahwa, politik tak ubahnya seperti “candu” yang hanya selalu memberikan dampak
negatif bagi kehidupan bernegara. Padaradigma seperti inilah yang mengakibatkan
merosotnya sistem demokrasi. Sebab pada dasarnya, pandangan “menghalalkan”
pelbagai cara (money politic) sangat bertolak belakang dengan hakikat politik.
Perlu
diketahui, secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani, “polis” yang
berarti kota atau negara-kota. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman arti
itu berkembang menjadi “polites” yang berarti warganegara, “politeia” yang
berarti semua yang berhubungan dengan negara, “politika” yang berarti
pemerintahan negara, dan “politikos” yang berarti kewarganegaraan. Hingga
akhirnya bapak filusuf, Aristoteles berkesimpulan bahwa, politik merupakan
usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial
yang tinggi melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi
di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan
membentuk tujuan negara.
Teles
menegaskan bahwa, pada hakikatnya politik merupakan sistem terpenting yang
harus ada dan dijaga dengan baik bagi seluruh rakyat maupun peerintah. Jadi,
merupakan kekeliruan besar menganggap bahwa politik itu buruk. Pada hakikatnya,
politik merupakan sistem dalam sebuah negara yang memberikan dampak besar
terhadap sirkulasi kepemimpinan yang dipelopori oleh setiap individu dengan
invidu yang lainnya. Dari pemaparan ini, politik menjadi alat vital dalam
rangka bahu-menbahu mewujudkan kesinambungan yang layak bagi kehidupan
bernegara.
Paradigma
Sesat
Menurut
tokoh pemuda Muslim yang sekaligus Ketua Departemen Kaderisasi PB Pemuda
Muslimin Indonesia, Ustadz Ujang Haris, S.Pd.I mengatakan, suatu negara akan
hancur jika kursi kekuasaan tidak ada yang memerankan. Dan suatu negara akan
berpotensi baik apabila kursi kekuasaan diperankan orang-orang baik. Jika
ditelisik lebih dalam, carat-marutnya perpolitikan dinegeri ini tak lain
disebabkan oleh adanya politisi yang berpadigma hedonis. Mobil mewah, rumah
megah, dan harta melimpah.
Kesalah-pahaman
seperti ini mengakibatkan negara Indonesia kian mengalami stagnasi dan
keterlantaran. Peran politisi yang seharusnya fokus dalam menyikapi
probelematika kehidupan bernegara justru
membuat ulah dengan cara memberdayakan sistem politik sebagai wadah perjudian.
Dengan kata lain, para politisi “menuntut balas dendam” terhadap harta yang
dulu telah dikeluarkan (dana serangan fajar, kampanye, dll.) pada waktu
pencalonannya. dan kemudian, niat mengembaikan modal tersebut akhirnya
dilakukan dengan cara memanfaatkan kekuasaan yang telah didapatkannya.
Tentunya,
paradigma seperti ini sangat tidak dibenarkan dalam dunia perpolitikan. Bahkan,
tindakan seperti ini sangat “dikutuk” oleh semua kalangan. Bisa dibayangkan,
apa jadinya jika pemimpin suatu negara diisi oleh kalangan orang “matre”. Oleh
sebab itu, dalam konteks ini sangat diperlukan adanya perombakan paradigma dan
menuntut seluruh jajaran para politisi untuk bisa memanai hakikat politik dengan
benar.
Jihad
siapapun
nantinya yang terpilih sebagai para pemimpin birokrasi periode mendatang, dari
partai apapun, maka segala aspek kemampuan harus dipersiapkan dengan matang.
Menurut pengajar pasca sarjana ilmu politik Universitas Indonesia (UI), dr.
Mohammad Nasih mengatakan bahwa, calon pemimpin harus mempersiapkan tiga aspek
kemampuan dengan matang. Yaitu, aspek spiritual, intelektual, dan finansial.
Menurutnya, kemampuan spriritual sangat berpengaruh besar terhadap
godaan-godaan poitik. Seperti suap, korupsi, dan penyimpangan kekuasaan yang
lainnya. Ditambah dengan bekal intelektual memadai yang diharapkan bisa
memberikan trobosan politik terbaik. dan kemudian imbangi dengan adanya faktor
finensial yang cukup untuk memuluskan jalannya perpolitikan.
Dalam
konteks ini, dunia politik bisa diartikan sebagai lahan jihad bagi para
mujtahid yang mempunyai dhirah juang tinggi dalam menegakkan kebenaran. Rumusan
ini bertendensi dalil al-Qur’an; “wajahidu fi-amwalikum wa-anfusikum”. Bahwa,
sesungguhnya berjihad tak cukup hanya menggunakan kemampuan diri saja, namun
faktor finensial juga sangat berperan penuh dalam menegakkan kebenaran.
Begitupun sebaliknya.
Dari
gambaran inilah, diharapkan para politisi sadar tentang hakikat perpolitikan.
Dengan kata lain, jika para politisi menganggap pepolitikan merupakan wadah
“najis”, maka sejatinya para orang-orang baik harus sadar dan bertanggung jawab
dalam mengembalikan makna luhur yang terkandung di dalam hakikat politik.
Dengan
demikian, anggapan bahwa politik itu buruk disebabkan oleh realita di dunia
perpolitikan mayoritas dikuasai oleh para orang-orang jahat yang berparadigma
serba kotor.
Maka,
untuk mengembalikan khittah politik dibutuhkan peran orang-orang. Sebab jika
selama ini eksistensi orang baik hanya sekadar “melihat” gonjang-ganjingnya
reputasi politik di Indonesia, maka eksistensi orang sama dengan tidak ada
nilainya. Sebab dalam pandangan Imam as-Syafi’i, pada hakikatnya adalah orang
yang tahu bahwa dirinya tahu. Dan konsekuensi logisnya adalah untuk memberi
tahu orang yang belum tahu.
Dalam
konteks ini, eksistensi orang baik sangat diperlukan dalam berperan membenahi
citra sekaligus moralitas politik dan para politisi. Tujuannya, adalah untuk
mengembalikan khittah perpolitikan sebagai lahan untuk berjihad untuk mendapat
ridha Tuhan yang Maha Kuasa, bukan adu jahat yang hakikatnya hanya meraup
keuntungan semata. Wallahu a’lam bi al-Shawab.