PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA

memperkokoh keislaman dan keindonesiaan menuju peradaban mulia

Minggu, 05 Februari 2017

Isabella Dari Damme’

CERPEN, PemudaMuslimNews - Dengan langkah tegap, dia memasuki ruang Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Di sana, nampak Rustam lagi sibuk membenahi beberapa arsip senat. 

Rustam, teman kamar, juga teman kuliahnya di Fakultas Ekonomi. Tempat dia meminjam catatan, menyalin tugas, bahkan menyontek ujian. Juga kawan berbagi kisah soal asmara yang selalu kandas. 

Pokoknya, Rustam segalanya, kecuali soal demonstrasi, Rustam tipe aktivis yang lebih mengedepankan diplomasi. Beda dengan dia yang selalu menggebu dan semua soal ingin diselesaikan dengan demonstrasi.

   “Ada pesan dari Isabella, bro. Kalau berani, langsung saja temui bapaknya bede’.” Sergah Rustam ketika melihatnya menghempaskan badan kerempengnya di sofa butut di sudut ruang senat.
   “Ha? Dia bilang begitu? Kenal saja belum, dia suruhka' langsung temui bapaknya?” Dia memperbaiki posisi duduknya ketika mendegar nama Isabella disebut, apalagi diikuti dengan permintaan yang menurutnya aneh.
   “Kenapa, Isbah?”
   “Deh, saya baru kirim salam kenal, langsungka' nasuruh menemui bapaknya?”
   “Iya, dia bilang sendiri begitu tadi, waktu kusampaikan salammu.” Jelas Rustam.

Dia teringat dengan gadis mungil berkerudung hijau tosca yang dia lihat pada suatu sore minggu lalu, di sudut pelataran fakultas. Gadis itu seperti sibuk memelototi buku makro ekonomi ketika dia melintas bersama Rustam dari Fakultas Hukum. Dari Rustam dia tahu kalau gadis itu disapa Isabella oleh teman-temannya, mahasiswa satu angkatan di bawahnya. Isabella telah menyedot perhatiannya, bahkan dia telah mengumpulkan informasi soal gadis itu di sela-sela kesibukannya rapat konsolidasi dan memimpin aksi.

Isabella adalah tipe mahasiswa yang hanya fokus pada pelajaran, tak ada waktu untuk aktif di organisasi, apalagi ikut demonstrasi. Sebenarnya, itu tipe mahasiswa yang sangat tidak disukai olehnya. Awal ketertarikannya bermula ketika dia memimpin penyegelan ruang kuliah sebagai bentuk protes atas kewajiban memenuhi presentase delapan puluh persen kehadiran bagi mahasiswa untuk bisa ikut ujian.

   “Ini upaya terselubung dari pihak kampus untuk membungkam gerakan kita, kawan-kawan! Hanya satu kata, Lawan!!!” Teriaknya memprovokasi mahasiswa yang berkerumun di depan ruang kelas yang pintunya telah dia segel.
   “Hentikan omong kosongmu itu! Janganko salahkan kampus atas kemalasanmu! Kau yang malas, kita semua kopaksa ikut-ikutan tak kuliah!” Seorang gadis mungil berkerudung hijau tosca menginterupsi orasinya yang berapi-api.

Dia tak mampu berkata-kata beberapa jenak, hanya matanya yang melotot ke arah gadis mungil berkerudung hijau tosca yang juga melotot ke arahnya dengan sorot mata yang tak kalah tajam. Setelah itu, dia melanjutkan orasinya sambil berlalu.
*     *     *

   “Rustam, antarka' ke rumahnya itu cewek yang selalu pakai kerudung hijau tosca.”
   “Isabella maksudmu? Seriusko?”
   “Penasaranka', mauka' temui orang tuanya.”
   “Deh, jauh itu rumanya, di Takalar. Tapi ayo'mi.”
   Maka siang itu, dia berboncengan dengan Rustam meluncur ke Takalar.

Setelah bertanya beberapa kali, akhirnya mereka menemukan rumah yang mereka tuju. Sebuah rumah panggung sederhana dengan cat dinding juga warna hijau tosca. Terletak di ujung dusun Damme', Kelurahan Patte'ne, Kecamatan Polongbangkeng Selatan, Kabupaten Takalar. Itulah rumah Isabella, gadis mungil berkerudung hijau tosca, yang membuatnya penasaran.

Dengan percaya diri, dia menapaki anak tangga satu persatu, sampai akhirnya dia tiba di depan pintu yang tidak terkunci. Kedatangannya disambut oleh seorang lelaki berusia senja, dengan sorot mata tajam. Begitu mengetahui bahwa yang datang adalah teman kuliah anaknya, dan seorang aktivis, lelaki itu begitu bersemangat bercerita. Sebagai seorang mantan pejuang, tak sulit baginya mengikuti pembicaraan tentang berbagai tema secara kritis.

   “Jadi, nak Isbah ini suka demonstrasi? Wah ini luar biasa.” Seru lelaki tua itu sambil berdiri menyalaminya.
   “Iyye' Pak.”
   “Saya suka anak muda yang punya idealisme sepertimu, itu berarti masa depan bangsa ini masih ada!” Dia dan Rustam hanya tersenyum simpul melihat bapak dari Isabella begitu bergairah.
   “Oh ya, maaf Nak, Isabella belum pulang nih. Biasanya dia baru di rumah setelah sholat isya.”
   “Tidak apa-apaji Pak, tidak adaji juga keperluan mendesak, cuma silaturahmiji.” Rustam menjawab sekenanya.
   “Tapi memangnya Isabella ke mana, Pak?”
   “Biasalah, di masjid. Dia mengajari anak-anak mengaji selepas ashar. Kalau sudah maghrib, giliran ibu-ibu yang dia ajari mengaji.”
   “Ooooo...”

Setelahnya, mereka kembali larut dalam perbincangan mengenai berbagai hal. Mulai dari isu nasionalisasi Freeport, impor pangan, sampai pembangunan daerah. Mereka baru pulang, ketika waktu sudah jam lima sore.
*     *     *

Sejak kunjungannya sore itu, beberapa kali dia datang lagi ke sana, baik bersama Rustam maupun datang sendiri. Dia merasa nyaman berbincang dengan ayah Isabella, mereka memiliki idealisme yang sama tentang negeri ini. Apalagi selama mengurusi skripsi sampai ujian, dia tak lagi turun lapangan memimpin aksi, sehingga dia punya banyak waktu luang. Meski demikian, hubungannya dengan Isabella berjalan biasa saja, meski ada rasa yang terajut diantara mereka, dia tak kuasa mengekspresikannya berlebih.

Namun ketika tawarannya untuk mengantar Isabella pulang dengan berboncengan motor ditolak, dia menjaga jarak dan menjaga hati. Kala itu, Isabella menasehatinya panjang lebar tentang makna hijab dan perlunya menjaga jarak bagi mereka yang bukan mahram. Meski awalnya kurang bisa menerima, tapi rasa penasaran menuntunnya mencari penjelasan lebih soal ini. Sampai dia mengerti mengapa Isabella dulu memintanya langsung menemui bapaknya.

Bismillah. Siang itu udara sejuk, dia bergerak menuju Damme', tekadnya sudah bulat: melamar Isabella, langsung ke bapaknya.
   “Jadi, begini Pak.”
   “Kenapa, nak Isbah?”
   “Mmmm... Begini Pak.”
   “Iya, kenapa?”
   “Aduh, mulai dari mana nih?”
   “Ada apa? Kayak orang mau melamar saja.”
   “Iyye', itu sebenarnya maksudku, Pak.”
   “Maksudnya?”
   “Mauka' lamarki anakta' Pak, Isabella.”
   “Haaaa? Melamar Icha'?”
   “Bukan Pak, bukan Icha'. Tapi Isabella.”
   “Berani-beraninya kau melamar anakku, namanya saja kau tidak tahu!”
   “Maksud bapak?”
   “Namanya bukan Isabella, tapi Aisyah.”
   “Tapi saya dengar dia disapa Isabella, Pak.”
   “Nama panggilanna Icha', tapi karena ada lebih dari satu yang bernama Icha' di sini, jadi ditambahkanlah namaku, Daeng Bella, di belakang namanya. Lama-lama, Icha' Bella menjadi Isabella.”
   “Oooo begitu, Pak. Tapi bagaimana dengan lamaranku?”
   “Lamaran apa? Saya tidak mau anakku menikah dengan aktivis!”
   “Tapi Pak, bukannya suka’ki’ sama aktivis, sama anak muda idealis?”
   “Idealisme saja tidak cukup anak muda. Aktivis bukan profesi yang bisa menghidupi.”
   “Isabella juga tidak adaji masalah Pak.”
   “Isabella... Isabella.... pokoknya tidak! Buktikan dulu dirimu, bisa bertindak secara ril di masyarakat!”
   “In shaa Allah akan kubuktikan, Pak.”
   “Buktikanmi Nak, setelah itu,baru kau datang lagi ke sini.”
   “Jadi lamaranku masih ditolak ini Pak?”
   “Ya, aktivis itu cuma cocok dijadikan teman diskusi, bukan untuk jadi menantu.”

Dengan muka tertekuk dalam, dia melangkah menuruni tangga rumah Isabella menuju motor yang terparkir. Sepanjang jalan menuju Makassar, terngiang terus kalimat terakhir bapak Isabella, “Aktivis itu cuma cocok dijadikan teman diskusi, bukan untuk jadi menantu.”

Makassar, 03 Desember 2015

Dimuat di Halaman Sastra Islam Harian Amanah, Sabtu 12 Desember 2015
Share:

SILATNAS 2021

SILATNAS 2021
Sukseskan Silatnas Pemuda Muslimin 2021

Official Account Media Sosial

Kabar Viral

Bersama Lawan Corona

PILIHAN REDAKSI

Muhtadin Sabili Ditetapkan Jadi Ketua Umum PB Pemuda Muslimin Lewat Aklamasi

Bogor, PemudaMuslimin-News.Com — Forum tertinggi organisasi Majelis Syuro (Kongres Nasional) Pemuda Muslimin Indonesia  menyepakati dan m...

Terbaru