Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar al-Ghifari saja, tapi untuk ummatnya. Nadanya
seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya. Ada tiga Syarat dan ketentuan
pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas, yaitu:
amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Syarat dan ketentuan di atas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi
adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti
digambarkan oleh al-Qur’an haruslah orang yang kuat dan terpercaya. “Sesunguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya” (QS. al-Qashas :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud
amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut
kepada ALLAH SWT. Maka sebagai pekerja untuk ummat, sifat kuat bekerja adalah
prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat
amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi,
Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun konsisten dengan syarat-syarat dan ketentuannya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash
yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman
mereka berdua belum mamadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan
mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat
hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan
apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit yang membela Islam juga tidak masuk kriteria
orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak
masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena
tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk
itu (jahil). Maka Al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu
dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya
(amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55).
Ini berarti syarat dan ketentuan pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh”
artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadith yang
lain: “Sesungguhnya ALLAH SWT akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya,
apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu
Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang
menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka
suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak
cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa
“amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita
akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Zar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam
adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan
baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan
berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari Syarat dan ketentuan diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin
Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang muslim
dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski
ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf
al-Qraradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang
sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak
akan amanah jika ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari
masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni :
beribadah kepada ALLAH SWT dan berkhidmat kepada masyarakat. Untuk beribadah
diperlukan ilmu dan iman, untuk berkhidmat diperlukan ilmu untuk
mensejahterakan rakyat. Oleh sebab “Pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan
materi dan akhalq serta kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga”. (HR
Bukhari).
Syarat dan ketentuan pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan
kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam
at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil,
memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya
alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat,
peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua
sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan
didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR
Muslim). Bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan
dan partai politiknya...??