ESAI, PemudaMuslimNews - Semua orang siapapun mereka pasti akan selalu
merasa sangat bergembira kalau bertemu dan harus berbicara di hadapan para Pemuda
Muslimin . Ini semua menandakan bahwa pemuda Muslimin tetap bersemangat dan
serius, karena setiap gerakan yang berhasil pasti memiliki kemauan yang kuat,
harapan yang jauh ke depan, dan orientasi yang jelas serta terarah terutama di
basis pemudanya.
Walaupun kadang-kadang gerakan pemuda kepentok
masalah klasik kekurangan dana, misalnya. Hal itu biasa dan terjadi di
mana-mana, di setiap waktu dan tempat, bukan hanya di Indonesia dan di masa
sekarang saja. Meskipun tidak mempunyai materi berlimpah, semua pergerakan
disusun, dirancang, dan dilaksanakan oleh Pemuda.
Aktivis Pemuda Muslim boleh miskin materi, tetapi jiwanya kaya, sehingga pantang menyerah dan mengeluh. Mereka tidak mengorbankan iffah, kehormatan diri, hanya untuk meminta-minta, karena Pemuda Muslimn perintis dan pelopor pergerakan yang berhasil adalah mereka yang bermental baja.
Aktivis Pemuda Muslim boleh miskin materi, tetapi jiwanya kaya, sehingga pantang menyerah dan mengeluh. Mereka tidak mengorbankan iffah, kehormatan diri, hanya untuk meminta-minta, karena Pemuda Muslimn perintis dan pelopor pergerakan yang berhasil adalah mereka yang bermental baja.
Modal pertama adalah Kekuatan moral dan spiritual menjadi modal utama dan pertama dalam
setiap pergerakan. Mungkin saja landasan moral dan spiritual sebuah pergerakan
salah atau bathil, tetapi pasti punya semangat. Apatah lagi kita yang mempunyai
landasan moral dan spiritual yang benar, bersumber dari petunjuk Allah Subhana
Wa Ta’ala. Kekuatan moral dan spiritual yang benar akan menghasilkan azam dan iradah
qawiyah. Bahkan, orang akan menjadi muda selamanya dan bergairah terus,
jika bergerak atas landasan moral dan spiritual yang benar. Alhamdulillah, kita
telah diberikan karunia itu oleh Allah Yang Mahakuasa.
Modal kedua ialah kemampuan intelektual. Allah sangat merangsang manusia melalui
ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan: ‘afala ta’qilun, ‘afala
yatafakkarun, dan lain-lain. Menurut penelitian, otak manusia yang
terpakai hanya 5% dari volume otak yang sebenarnya. Apalagi otak orang
Indonesia yang mungkin tidak mencapai batas maksimal itu. Bayangkan, jika
kemampuan otak itu ditambah dengan kekuatan pendidikan (tarbiyah) yang kita
jalankan, bagaimana hasilnya. Menurut catatan, anggota gerakan 70% adalah para
sarjana yang diberi petunjuk dan kemudahan oleh Allah untuk bergabung dalam
jamaah dakwah, itu melebihi kualitas kelompok masyarakat pada umumnya.
Modal ketiga adalah ideologi atau idealisme yang dengannya kita mempunya visi dan misi
perjuangan yang jelas. Ini juga merupakan karunia Allah kepada kita berupa
pemikiran yang paripurna, bisa memiliki pandangan jauh ke depan, walaupun pada
masa-masa sulit. Inilah yang menjadi Karakter yang kenta dalam Pemuda Muslimiin
Indonesia, Kita harus selalu menjadi barisan pelopor dan perintis dalam
kejelasan ideologi.
Modal keempat adalah manhaj atau metodologi. Allah tidak hanya memberikan perintah saja,
melainkan juga konsepsi dan landasan operasional. Shalat dan haji memang
diperintahkan oleh Allah, tetapi dalam pelaksanaannya Allah mencontohkan
melalui tindakan Rasulullah. Dalam berjuang dan berjihad pun harus mengikuti
Rasulullah SAW, tidak membeo, tapi memahami dan mengerti maksudnya. Qudwah
kepada Rasul merupakan kebutuhan, bukan hanya sekadar kewajiban, karena tanpa
Rasul, maka ajaran Islam tak bisa jalan. Rasulullah-lah yang mencontohkan
kepada kita, bagaimana dakwah yang jelas, Akurat, terarah dan sistemik.
Modal kelima adalah kefitrahan. Dienul Islam yang merupakan Azas Pemuda Muslimin
Indonesia merupakan modal besar, karena sesuai dengan fitrah manusia, tidak
berbenturan dengan kultur manusia, binatang, dan ekosistem. Bahkan, Allah
menegaskan bahwa semua makhluk itu adalah junud (tentara) Allah SWT.
Artinya, kita harus yakin bahwa pergerakan yang bertentangan dengan fitrah manusia
adalah bertentangan dengan kehendak Allah SWT, karena semuanya bergerak dalam
nuansa dan irama yang sama, mulai dari tingkat Pimpinan Besar (PB) sampai
ketingkat Jama’ah (Anak Ranting) ataupun sebaliknya, Semuanya bekerja, berjuang
dan bertasbih kepada Allah demi menjalankan Syariat Islam Sepenuh-penuhnya dan
seluas-luasnya. Jika perjuangan Islam kompak dengan perjuangan alam (universe),
maka perjuangan itu akan berhasil. Pohon dan tetumbuhan, binatang, cuaca,
gejala alam semuanya menjadi teman-teman perjuangan kita.
Berjuang tanpa fitrah alam akan gagal, karena
hukum itu bersifat baku dan tetap sepanjang zaman. Ini adalah modal yang sangat
besar, walaupun kita tidak merasakannya. Padahal, bantuan Allah lewat alam (nature)
itu sangat banyak. Misalnya, bekerja dalam hujan, tetapi tidak masuk angin,
malah hujan itu menjadi penyegar. Bahkan, semuanya itu untuk mengokohkan, jika
kita berstatus juga sebagai Jundullah. Caranya, sesuaikanlah sifat jundiyah
kita dengan jundiyah angin, binatang, pohon, dan lain-lain.
Rasulullah SAW sering dibantu oleh para jundi
alam ini: tumbuhan, binatang, cuaca, dan sebagainya. Bahkan, karamah para
sahabat dalam perang Qadisiyah, ketika mereka menyeberang sungai sambil
berkata: “Wahai air, kita sama-sama jundullah, bantulah kami karena sedang
melaksanakan tugas”. Akhirnya, air yang dalam dan deras itu menjadi dangkal dan
tenang untuk dilewati.
Modal keenam adalah modal institusional. Kerja
kita adalah kerja Jam’ah (berkaum) yang banyak orang tidak melakukannya. Kita
memperoleh banyak dukungan dari proses kaum ini, seperti thawashau bil haq
dan thawashau bis shobri. Itu hanya bisa dilakukan dengan jamaah,
karena saling mengingatkan itu diperlukan dalam gerakan agar tidak tergelincir.
Ba’duhum awliya’u ba’din. Kritik dan peringatan itu perlu.
Kita sedih menyaksikan ada pejabat tinggi
pemerintah yang tidak mau dinasehati salah seorang ikhwah. Padahal kita hanya
ingin menyelamatkan ummat, bukan mengincar jabatan. Tetapi, pejabat tersebut
setelah menduduki posisinya justru keenakan dan tidak mau direpoti oleh
saran-saran yang berguna bagi ummat.
Itu semua hanya bisa dilakukan dalam proses
institusionalisasi, ketika tantangan dakwah berat dan sulit. Ada tawashau
bil haq wa bis shobri, sehingga menimbulkan daya tahan (QS Ali Imran:
157). Wa ma dla’ufu wa ma istakanu (mereka tidak lemah dan tidak
menyerah). Juga dilengkapi dengan tawashau bil marhamah. Tatkala
seseorang mendapat musibah dan menderita, maka orang tersebut tidak sendirian,
tetapi bersama-sama dengan banyak orang, sehingga potensinya tidak terpuruk.
Modal ketujuh bersifat material. Sebenarnya Allah
telah banyak memberikan modal material kepada kita berupa alam semesta beserta
segala isinya, tetapi mungkin kita belum bisa mendayagunakannya. Bahkan, dalam
al Qur’an surat al Hajj ayat 31, Allah berfirman: “Telah Aku datangkan
segala apa yang kamu butuhkan, wa in ta’uddu ni’matallah laa tuhsuha”.
Karena kezaliman dan ketidakproporsionalan sikap kita, sehingga tidak memiliki
daya inovatif dan kreatif untuk memanfaatkannya. Menyadari dan mensyukuri
nikmat Allah itu penting. Bagaimana nikmatnya udara, sehari kurang lebih 350
kilogram kita memakai oksigen untuk tubuh kita, seperlima diantaranya dipakai
oleh otak.
Kesadaran memiliki modal dasar itu penting demi
iradah qawiyah dan azam yang tinggi. Mari kita tarik kebelakang ingatan kita
semua, Kalau melihat perjalanan pergerakan Pemuda ke belakang mulai tahun 1970-an,
ketika Orde Baru berkuasa, bagaimana Pergerakan Dakwah ini dikekang, diatur dan dikendalikan oleh
pemerintah. Bahkan, dai yang menafsirkan surat Al Ikhlas sebagai ajaran tauhid
saja sudah diberangus, sampai dikejar-kejar, sehingga akhirnya tema ceramah
diubah menjadi syarat sahnya berwudlu. Justru di masa-masa sulitlah Pergerakan dakwah
berkembang dan berekspansi, karena punya modal banyak.
Pada saat itu para muwajjih tidak
dijemput dengan mobil, tetapi banyak yang berjalan kaki, karena keadaan ekonomi
yang sulit. Cari tempat untuk acara pengajian atau daurah juga sulit. Halaqah
dilakukan di kebun binatang, di taman, di lapangan, di kebun raya – tanpa whiteboard
dan peralatan tulis memadai. Itu semua karena kita mempunyai kesadaran bahwa
kita kaya, yang menyebabkan kita selalu menjadi barisan perintis dan pelopor
kebaikan.
Strategi awal dakwah kita adalah harakah at
taghyir yang membutuhkan anashir at taghyir. Karena kita
membutuhkan banyak unsur perubahan, maka kita perlu mendapatkan akses dakwah
pada pusat-pusat perubahan, yaitu markaz at taghyir. Dalam tahap awal,
pusat perubahan yang kita akses adalah wilayah ilmiyah, yaitu
kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Setelah itu kita mengakses wilayah
sya’biyah (masyarakat umum) melalui masjid-masjid dan pengajian umum.
Kampus dan sekolah itu pada dasarnya adalah milik
ummat. Sesudah itu, dakwah dalam amal thullabi dilanjutkan dengan amal
mihani (dakwah profesi). Seyogyanya memang amal thullabi dan amal
mihani itu disinergikan, karena mengarahkan kemampuan profesional harus
dimulai sejak masa mahasiswa.
Amal mihani terdiri dari dakwah di
kalangan perusahaan (tenaga kerja) dan pengembangan profesi. Harus disadari
bahwa perusahaan-perusahaan umum itu tidak bisa atau sulit dijadikan lembaga
perjuangan, sehingga hanya dipenuhi dengan karir, ma’isyah
(pekerjaan), rekrutmen dan pengembangan kafa’ah saja. Yang masih lemah
dari para aktivis adalah memasuki lembag-lembaga profesi.
Itulah yang bisa dijadikan lembaga perjuangan.
Tetapi kenyataannya sekarang lembaga-lembaga profesi itu banyak yang lemah dari
sisi perjuangan, hanya sekadar tempat kumpul-kumpul, bagi-bagi proyek, dan
kadang-kadang peningkatan kafa’ah saja. Fenomena kelemahan lembaga
profesi ini bukan hanya di Indonesia, tetapi terjadi di mana-mana.
Dakwah Islam memandang situasi itu sebagai
sesuatu yang besar, bahkan keharusan perjuangan. Di Mesir, tahun 1960-1970 an,
aktivitas kemahasiswaan berjaya dan mulai memasuki dakwah profesi.
Lembaga-lembaga profesi yang tadinya lemah, maka sepuluh tahun kemudian menjadi
kuat dan hampir 90% organisasi profesi dikuasai aktivis dakwah. Ikhwan dan
akhwat yang masuk ke lembaga profesi harus kompetitif, jujur dan amanah. Aktivis
Kristen Koptik di Mesir pun memilih dan mengakui kepemimpinan aktivis dakwah
yang dinilai paling amanah dan memiliki etos perjuangan.
Semua proses tersebut berjalan secara wajar dan
terjadi pemberdayaan yang luar biasa terhadap lembaga profesi. Lembaga profesi
teknik (persatuan insinyur) tidak hanya bekerja pada bidang teknik, tetapi juga
membuat RUU dan advokasi keteknikan yang bernuansa Islam, karena aktivis dakwah
mampu mewarnai lembaga tersebut. Akhirnya lembaga profesi itu bertindak seperti
partai politik dan pressure groups terhadap pemerintah. Karena aktivis
mewarnai dan menguasai banyak lembaga profesi, maka seakan-akan mereka memiliki
banyak partai politik dan kelompok penekan yang mengontrol pemerintah dengan
kebijakan dasar yang sama.
Pada tahun 1995, pemerintah Mesir menyadari hal
itu, sehingga lembaga-lembaga profesi mau dibredel, tetapi sulit karena terkait
dengan institusi negara, infrastruktur dan suprastruktur politik. Kalau
dibubarkan sulit, karena bertentangan dengan UU dan bisa membentuk lembaga yang
baru lagi. Kalau kantornya ditutup, pemerintah dituntut lewat pengadilan.
Aktivis bisa membuka kantor yang baru, atau menguasai dan mewarnai lembaga
profesi sejenis. Kalau aktivisnya ditangkapi dan dipenjarakan, industri dan
pelayanan jasa (terutama rumah sakit, konsultan proyek, dan pengacara) akan
mengeluh, karena tidak bisa berjalan, sebab tidak ada tenaga ahlinya. Maka,
proses pembangunan pun bisa terhambat.
Kelompok Salsabil di Mesir, misalnya, membuat
perusahaan komputer dan berkembang sampai bisa mengikuti tender penyediaan software
di Departemen Pertahanan Mesir, karena murah dan paling baik, akhirnya menang.
Setelah pejabat militer sadar bahwa perusahaan tersebut milik aktivis dakwah,
maka mereka ketakutan dan menggerebek serta menyegel kantornya. Peristiwa itu
menjadi berita besar, karena secara beramai-ramai lembaga profesi di Mesir
bersuara, mulai dari lembaga profesi teknik, komputer, pengacara dan lainnya,
hingga akhirnya dibebaskan dan dibuka kembali.
Para dokter di Mesir juga menggelar acara munasharah
untuk kasus Bosnia sampai terkumpul dana sebesar US$ 4 juta, tetapi dilarang
pemerintah. Akhirnya kasus itu menjadi berita besar lagi, karena dibela oleh
lembaga profesi kedokteran, keperawatan, pengacara dan sebagainya. Kasus itu
dibawa ke pengadilan dan akhirnya dinyatakan menang, walaupun dananya terpaksa
dibagi dua (fifty-fifty) untuk lembaga pemerintah dan lembaga dakwah.
Jika ada bencana alam, gempa bumi, kebakaran dan
sebagainya, aktivis Pemuda Muslimin harus menjadi terdepan bersama masyarakat/ummat
menyantuni korban. Itu semua adalah hasil dakwah thullabi yang
dilanjutkan dakwah profesi. Yang lebih penting lagi di mihwar muassasi
ini, tanpa pengembangan profesi akan sulit, karena kita membutuhkan para ahli
dalam bidangnya yang bisa menjawab dan menjelaskan tantangan zaman melalui
kacamata Islam. Konsep-konsep Islam harus dirumuskan dan dilaksanakan sebagai
solusi bagi persoalan bangsa ini. Semuanya itu mengharuskan kita, mau tidak
mau, untuk terjun dalam lembaga profesi.